Friday, June 15, 2012

Life is Choice

            “Bagus ya Vi pemandangannya,kataku pada Sevi sembari melihat hamparan danau yang indah.
            “Iya Sa, karena itu aku mengajakmu ke sini. Sa, aku akan beli makanan dulu, kamu tunggu sini ya?”
            Udara hari itu memang agak dingin. Aku hanya terdiam menunggu Sevi yang tak kunjung datang.
            “Kemana Sevi?” Aku mulai khawatir dan aku memutuskan untuk mencari Sevi.

            Di tengah jalan di pinggir danau, tiba-tiba seorang yang menyeramkan menodongkan pisau kepadaku. Aku sangat terkejut, tak bisa berbuat apa-apa.
            Serahkan apa yang kau punya! Cepat! Atau aku akan membunuhmu!” Orang itu berkata dengan kasar, namun tak begitu keras sehingga tak ada orang yang menyadari apa yang ia lakukan.
            “Apa-apaan ini?” kataku pada penodong itu.
            “Aku berteriak tanpa memikirkan akibatnya. Penodong itu pun mendekatkan pisaunya kepadaku.
            “Hei! Jangan ganggu dia!” ku dengar suara seorang lelaki, dia hendak menolongku.
            Lelaki itu pun menantang penodong itu dan memukulnya. Tapi sayang, tangan kanan lelaki itu tergores pisau penodong. Aku segera berlari ke arahnya.
            “Terima kasih, aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kamu tidak menolongku, tapi kamu terluka,kataku sambil menunjuk luka lelaki itu.
            Aku mengajaknya ke pinggir danau dan mengobatinya dengan tisu yang biasa ku bawa.
            “Maaf, ini semua karena aku, kamu takkan terluka jika tidak menolongku.” Tuturku dengan tetap mengobati tangannya yang banyak mengeluarkan darah.
            “Tidak apa-apa, ini sudah biasa.”
            “Ee, maaf. Kita belum kenalan, aku Sena.” Kata lelaki itu.
            “Oh iya, aku Salsa
            “Sedang apa kamu di sini? Sendirian?” Tanya Sena padaku.
            “Tidak, aku tidak sendiri aku bersama temanku.”
            Aku menceritakan yang telah terjadi tadi kepada Sena.
“Salsa!“
            Aku dengar suara Sevi memanggilku, aku menengok ke arah suara itu berasal.
            “Sevi! Dari mana kamu? Aku mencarimu.” Kataku pada Sevi. Saat aku hendak memperkenalkan Sena pada Sevi, Sevi dengan tiba-tiba berkata.
            ”Sena? Sedang apa di sini?”
            Ternyata Sena teman kuliah Sevi. Begitu sempit dunia ini serasa semua yang ada di dunia ini saling berhubungan.
∞∞∞
            “Salsa, kuliah di mana?” tanya Sena padaku.
            “Aku masih SMA, kelas 3,” jawabku.
            “Oh, aku kira kamu teman kuliah Sevi juga,” kata Sena dengan senyum manisnya.
            “Bukan, aku tetangganya, kebetulan aku dekat sekali dengan Sevi.”
            Setelah pertemuanku dengan Sena yang tak disengaja itu, Sevi kerap sekali menceritakan sosok Sena kepadaku. Dan ternyata Sevi menyukai Sena. Tak heran jika Sevi menyukainya, Sena lelaki yang baik. Aku pun mengaguminya. Kami sering menghabiskan waktu bersama, sekedar jalan-jalan atau makan.
∞∞∞
            Suatu hari, Sena menjemputku di sekolah. Ia mengajakku makan siang di suatu tempat. Setelah kami makan siang, Sena mengajakku ke danau.
            “Iya. Sa, aku ingin bicara sesuatu, tentang kita Sa,” kata Sena padaku.
            Suasana menjadi sangat hening. “Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
            “Aku menyayangimu Sa, sejak aku pertama melihatmu, aku tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya.”
            “Tapi, Sevi menyukaimu sejak ia mengenalmu.” Kataku pada Sena.
            “Tak apa Sa, aku tidak keberatan, aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri,” tiba-tiba suara itu datang tak jauh dari tempatku duduk bersama Sena, ternyata Sevi! Berdampingan dengan seorang lelaki yang tak lain adalah Andre.
            “Sa, Sena hanya menyayangimu, aku tidak apa-apa. Aku akan senang bersama Andre.”
            Atas persetujuan Sevi, aku dan Sena menjalin hubungan hingga satu tahun. Tak terasa sebentar lagi aku akan lulus dan meneruskan sekolahku di kota Bandung, kota yang telah lama ingin ku kunjungi.                                      
∞∞∞
            Ayah Sena sakit keras. Aku mengajak Sevi menjenguk ayah Sena. Sevi tampak khawatir. Sesampainya di rumah sakit, Sevi mendahuluiku masuk ke dalam kamar ayah Sena, Sevi terlihat sangat akrab dengan keluarga Sena. Aku merasa tersisih.

            “Sa, aku ingin membicarakan sesuatu, tapi tidak sekarang. Besok aku akan menjemputmu,” tutur Sena dengan serius.
∞∞∞
            Aku dan Sena bertemu di tempat dekat taman kota. Aku tak tahu apa yang membuat Sena begitu ingin bertemu, bukankah ia sedang sibuk menunggui ayahnya yang sedang sakit?
            “Sena, ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang penting?” Tanyaku padanya.
            “Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat, karena sebentar lagi kamu akan pergi ke Bandung,” jawabnya dengan  suara agak parau.
            “Ada apa sebenarnya? Aku tidak mengerti,” kataku penuh tanya.
            “Kamu tahu kan, ayahku sakit keras? Ia memintaku untuk segera menikah!” Tutur Sena dengan tatapan yang sangat dalam.  
            “Lalu, apa maumu?” Tanyaku padanya lagi.
            “Apa mauku? Tentu saja aku akan menikahimu, dalam waktu dekat ini.” Jawabnya tegas.
            Aku hanya terdiam mendengar kata-katanya. Seharusnya aku memang senang, orang yang aku cintai akan menikahiku. Tapi aku tak bisa, bahkan aku belum genap dua puluh tahun, aku masih ingin kuliah, aku belum mewujudkan keinginan orang tuaku, dan Sena tahu semua itu.
            “Pernikahan bukan akhir dari segalanya Salsa, tapi aku tidak akan mengekangmu. Semua terserah padamu,” kata Sena meyakinkanku.
            “Sena, aku tidak bisa, orang tuaku takkan mengijinkan aku menikah sebelum aku menyelesaikan sekolahku.”
            “Aku tahu itu, tapi kamu pasti juga tahu, bagaimana keadaan ayahku? Hanya ini yang bisa kulakukan untuk ayahku disaat-saat terakhirnya.”
            Aku tak bisa berkata sepatah kata pun. Tanganku yang terasa sangat dingin terasa hangat di genggaman Sena, satu-satunya orang yang aku inginkan untuk menjadi pendampingku. Tapi tidak untuk saat ini.
            “Sa, aku menunggu jawabanmu, aku tahu ini berat untukmu, pilihlah yang menjadi pilihanmu. Menikah denganku atau tidak... sama sekali.” Kata Sena.
            Aku benar-benar hancur, apa aku harus melepas Sena? Atau menghianati orang tuaku sendiri?
            Hanya satu tempat dimana aku bisa memikirkan semua itu, tengah malam yang dingin memaksaku bangun dari tidurku yang pulas. Bergegas aku mengambil air wudlu. Ya, hanya Allah tempatku meminta petunjuk untuk semua masalah yang kuhadapi.
            “Aku ingin bertemu, ada sesuatu yang harus kukatakan padamu,kataku pada Sena lewat gagang telepon rumahku.
∞∞∞
            Di danau, di bawah pohon dengan bangku putih, kami berdua duduk. Dan aku pun mulai angkat bicara.
            “Baiklah, Sena aku sangat menyayangimu.” kata-kataku terhenti, berat rasanya mengatakannya..
            “Tapi aku tidak bisa menerima lamaranmu. Keluargaku masih membutuhkanku,”
            Aku terdiam melihat wajah Sena penuh kekecewaan, dan aku tahu memang itu konsekuensi yang harus aku terima.
            “Hanya kamu wanita yang aku cintai Sa,” tutur Sena tenang.
            “Apa benar kamu mencintaiku? Apa kamu akan melakukan apa yang aku inginkan?” Aku menatapnya dalam.
            “Pasti aku akan melakukannya Sa, semampuku hanya untuk kamu.” Jawab Sena, meletakkan tangannya di pipiku. Ku pegang tangannya dan memberanikan diri berkata,
            “menikahlah dengan Sevi!”
            “Apa maksudmu? Aku tidak mencintainya.” Seketika Sena beranjak dari tempat duduknya.
            “Tapi dia mencintaimu, dan setidaknya ia telah siap menikah. Aku yakin kamu akan bahagia dengan Sevi,kataku dengan kepala tertunduk tak berani menatap mata Sena.
            “Apa kamu yakin dengan perkataan konyolmu itu?” tanya Sena dengan nada mulai tinggi.
            “Iya.”
            “Sa, dengarkan aku.” Sena berkata sambil memegang kedua lenganku. Aku menatapnya sangat dalam, tak pernah aku melihat Sena seperti ini sebelumnya.
            “Jika itu maumu, aku akan melakukannya, bukan untuk siapa pun kecuali untuk orang yang benar-benar aku sayangi.”
            Ia melepaskan tangannya kemudian meninggalkanku bersama hembusan angin yang dingin beserta linangan air mataku, menunggu seseorang mengusapnya.
∞∞∞
            “Sa, hati-hati ya di sana! Baik-baik, jaga diri ya nduk. Kalau ada apa-apa langsung kabari Bapak sama Ibu, salam buat Budhemu ya nduk.tutur Ibu mewanti-wanti kepergianku.
            “Iya Bu, Salsa pasti hati-hati di sana,kataku menenangkan ibu.
            Sena tahu aku akan pergi hari ini, aku sudah mencoba menelponnya tadi malam tapi tak ada jawaban. Pikiranku semakin kacau, apa ia sedang menyiapkan pernikahannya? Mungkin begitu, tapi aku tak  boleh seperti ini, aku bukan siapa-siapa lagi baginya. Aku hanya bisa mendoakan ia bahagia bersama Sevi. Mereka adalah orang-orang yang aku sayangi.
            Dari hari ke hari aku mulai sadar, aku harus bangkit. Di Bandung aku harus fokus pada kuliahku. Dan berhenti memikirkan masa lalu yang akan membuatku semakin hancur dan menyesal.
           
2 Tahun berlalu.....

            Aku sangat merindukan Semarang. Apalagi sudah 2 tahun ini aku tak menikmati lezatnya sayur lodeh buatan ibu. Aku memutuskan untuk pulang ke Semarang.
            Seisi rumah terkejut melihat kedatanganku tanpa kabar. Setelah menceritakan semua pada ibu selama aku di Bandung, aku bersiap ingin pergi ke danau. Ya, danau tempat pertama dan terakhir aku bertemu Sena semenjak kepergianku ke Bandung.
            Aku menyusuri jalanan menuju danau, aku terkejut, melihat sesorang yang bukan lain adalah Sena, Ia menggendong seorang anak kecil, gadis kecil yang sangat cantik. Di sebelah Sena terlihat seorang wanita, kurasa ia Sevi, tetapi ternyata bukan. Lalu siapa dia? Dimana Sevi?
            Aku terpaku di tempat aku berdiri menatap mereka. Menyaksikan Sena yang kurasa bersama keluarganya.
            Tiba-tiba, Sena menoleh ke arahku. Ia menatapku, aku segera membalik badanku berlari menjauh dari keluarga yang sedang berbahagia itu. Tanpa ku sadari, setitik air mata jatuh di pipiku. Langkahku terhenti saat sentuhan tangan yang tak asing lagi bagiku kurasakan menggenggan tanganku.
            “Sena? apa yang kamu lakukan?” tanyaku dengan terbata-bata.
            “Salsa, aku merindukanmu, aku hampir tak percaya kau ada di sini,kata Sena.
            “Di mana Sevi?” tanyaku singkat.
            “Apa kamu belum tahu?”
            “Tahu tentang apa?” tanyaku penasaran.
            Setelah Sena menceritakan semua tentang Sevi, aku terkejut dan sama sekali tak mengira. Sevi meninggal karena aborsi, Andre telah menghancurkan masa depan Sevi dan tidak bertanggung jawab. Sevi melakukan hal itu karena ia tak mau membuat orang tuanya dan Sena kecewa.
            “Kenapa tak ada kabar untukku?” tanyaku.
            “Semua itu serba ditutup-tutupi oleh keluarga Sevi, lagi pula aku tidak ingin mengganggu kuliahmu.”
            “Lalu bagaimana denganmu?”
            “Ayahku pergi hampir bersamaan dengan kepergian Sevi.”
            Aku tak mengerti apa maksud perkataan Sena.
            ”Dengan siapa kamu menikah?”
            Sena tersenyum, ”tidak dengan gadis mana pun.”
            Mendengar itu, aku semakin bertanya-tanya siapa wanita dan anak kecil itu?
            “Kamu pasti penasaran siapa wanita yang kamu lihat tadi kan?” tanya Sena.
            “sebenarnya iya,” aku menjawabnya dengan senyum kecil.
            “Dia bukan istriku, dia kakak iparku, jawab Sena dengan senyum menggelikan.
            “Oh ya? Lalu, apa ibumu tak memintamu tetap menikah?” tanyaku lagi padanya.
            “Ibuku tak sekeras ayahku, lagi pula ibu tahu hanya kamu yang aku cintai.” Sena menatapku, seperti terakhir ia menatapku. Aku tertunduk, perasaanku campur aduk, ada rasa senang karena Sena masih mencintaiku. Tapi ada kesedihan saat aku kehilangan sahabat baikku.
            “Sena, kamu mau kan mengantarku ke makam Sevi?” Pintaku pada Sena.
            “Kenapa tidak, sekarang?”
            “Iya”
            Di depan batu nisan Sevi, aku tak bisa menahan air mataku lebih lama. Sena menenangkanku, mendekapku dan mengusap air mataku.  Aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku jika Sevi masih hidup dan aku harus menyaksikan Sevi di samping Sena, mendampingi Sena.
            Mungkin ini jalan hidupku, bersama orang yang memang aku cintai. Aku pun tahu apa yang aku relakan pasti akan dapat balasan yang terbaik dari Tuhan.
            Apa yang aku pilih adalah yang menentukan jalan hidupku sendiri. Apa pun itu, apa pun yang aku korbankan takkan ada yang sia-sia. Karena itu semua telah digariskan oleh yang Maha Kuasa.
            Kini aku takkan melepas Sena, semua yang telah kami lalui telah cukup menguji ketulusan cinta kami yang abadi.
                                

2 comments:

Unknown said...

Hmmm ceritanya bgus bu :)
terharu aku

A Writer said...

Terimakasih ^^
Tapi gak sampe nangis kan :D

Post a Comment

 
Copyright © Writing Space. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block | Start My Salary
Designed by Santhosh