“Bagus ya Vi pemandangannya,” kataku pada Sevi sembari melihat hamparan danau yang
indah.
“Iya Sa, karena itu aku
mengajakmu ke sini. Sa, aku akan beli makanan dulu,
kamu tunggu sini ya?”
Udara hari itu memang
agak dingin. Aku hanya terdiam menunggu Sevi yang tak kunjung datang.
“Kemana Sevi?” Aku mulai
khawatir dan aku memutuskan untuk mencari Sevi.
Di tengah jalan di
pinggir danau, tiba-tiba seorang yang menyeramkan menodongkan pisau kepadaku.
Aku sangat terkejut, tak bisa berbuat apa-apa.
“Serahkan apa yang kau punya! Cepat! Atau aku akan
membunuhmu!” Orang itu berkata dengan
kasar, namun tak begitu keras sehingga tak ada orang yang menyadari apa yang ia
lakukan.
“Apa-apaan
ini?” kataku pada penodong itu.
“Aku berteriak tanpa
memikirkan akibatnya. Penodong itu pun
mendekatkan pisaunya kepadaku.
“Hei! Jangan ganggu dia!”
ku dengar suara seorang lelaki, dia hendak menolongku.
Lelaki itu pun menantang
penodong itu dan memukulnya. Tapi sayang, tangan kanan lelaki itu tergores pisau penodong. Aku segera berlari ke arahnya.
“Terima kasih, aku tak tahu apa
yang akan terjadi padaku jika kamu tidak menolongku, tapi kamu terluka,” kataku sambil menunjuk
luka lelaki itu.
Aku mengajaknya ke pinggir danau dan mengobatinya dengan tisu yang
biasa ku bawa.
“Maaf, ini semua karena
aku, kamu takkan terluka jika tidak menolongku.” Tuturku dengan tetap mengobati
tangannya yang banyak mengeluarkan darah.
“Tidak apa-apa, ini sudah
biasa.”
“Ee, maaf. Kita belum
kenalan, aku Sena.” Kata lelaki itu.
“Oh iya, aku Salsa
“Sedang apa kamu di sini?
Sendirian?” Tanya Sena padaku.
“Tidak, aku tidak sendiri
aku bersama temanku.”
Aku menceritakan yang
telah terjadi tadi kepada Sena.
“Salsa!“
Aku dengar suara Sevi
memanggilku, aku menengok ke arah suara itu berasal.
“Sevi! Dari mana kamu?
Aku mencarimu.” Kataku pada Sevi. Saat aku hendak memperkenalkan Sena pada
Sevi, Sevi dengan tiba-tiba berkata.
”Sena? Sedang apa di
sini?”
Ternyata Sena teman
kuliah Sevi. Begitu sempit dunia ini serasa semua yang ada di dunia ini saling
berhubungan.
∞∞∞
“Salsa, kuliah di mana?”
tanya Sena padaku.
“Aku masih SMA, kelas 3,”
jawabku.
“Oh, aku kira kamu teman
kuliah Sevi juga,” kata Sena dengan senyum manisnya.
“Bukan, aku tetangganya,
kebetulan aku dekat sekali dengan Sevi.”
Setelah pertemuanku
dengan Sena yang tak disengaja itu, Sevi kerap sekali menceritakan sosok Sena
kepadaku. Dan ternyata Sevi menyukai Sena. Tak heran jika Sevi menyukainya,
Sena lelaki yang baik. Aku pun mengaguminya. Kami sering menghabiskan waktu
bersama, sekedar jalan-jalan atau makan.
∞∞∞
Suatu hari, Sena
menjemputku di sekolah. Ia mengajakku makan siang di suatu tempat. Setelah kami
makan siang, Sena mengajakku ke danau.
“Iya. Sa, aku ingin bicara
sesuatu, tentang kita Sa,” kata Sena padaku.
Suasana menjadi sangat
hening. “Apa maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Aku menyayangimu Sa,
sejak aku pertama melihatmu, aku tak pernah merasakan hal seperti ini
sebelumnya.”
“Tapi, Sevi menyukaimu
sejak ia mengenalmu.” Kataku pada Sena.
“Tak apa Sa, aku tidak
keberatan, aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri,” tiba-tiba suara itu datang tak jauh dari tempatku duduk
bersama Sena, ternyata Sevi! Berdampingan dengan seorang lelaki yang tak lain
adalah Andre.
“Sa, Sena hanya
menyayangimu, aku tidak apa-apa. Aku akan
senang bersama Andre.”
Atas
persetujuan Sevi, aku dan Sena menjalin hubungan hingga satu tahun. Tak terasa sebentar lagi aku akan lulus dan meneruskan
sekolahku di kota Bandung, kota yang
telah lama ingin ku kunjungi.
∞∞∞
Ayah Sena sakit keras.
Aku mengajak
Sevi menjenguk ayah Sena. Sevi tampak khawatir. Sesampainya di rumah sakit, Sevi
mendahuluiku masuk ke dalam kamar ayah Sena, Sevi terlihat sangat akrab dengan
keluarga Sena. Aku merasa tersisih.
“Sa, aku ingin
membicarakan sesuatu, tapi tidak sekarang. Besok aku akan menjemputmu,” tutur
Sena dengan serius.
∞∞∞
Aku
dan Sena bertemu di tempat dekat taman kota. Aku tak tahu apa yang membuat Sena
begitu ingin bertemu, bukankah ia sedang sibuk menunggui ayahnya yang sedang
sakit?
“Sena,
ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang penting?” Tanyaku padanya.
“Sebenarnya
ini bukan waktu yang tepat, karena sebentar lagi kamu akan pergi ke Bandung,”
jawabnya dengan suara agak parau.
“Ada
apa sebenarnya? Aku tidak mengerti,” kataku penuh tanya.
“Kamu
tahu kan, ayahku sakit keras? Ia memintaku untuk segera menikah!” Tutur Sena
dengan tatapan yang sangat dalam.
“Lalu,
apa maumu?” Tanyaku padanya lagi.
“Apa
mauku? Tentu saja aku akan menikahimu, dalam waktu dekat ini.” Jawabnya tegas.
Aku
hanya terdiam mendengar kata-katanya. Seharusnya aku memang senang, orang yang
aku cintai akan menikahiku. Tapi aku tak bisa, bahkan aku belum genap dua puluh
tahun, aku masih ingin kuliah, aku belum mewujudkan keinginan orang tuaku, dan
Sena tahu semua itu.
“Pernikahan bukan akhir dari segalanya Salsa, tapi aku
tidak akan mengekangmu. Semua terserah
padamu,” kata Sena meyakinkanku.
“Sena,
aku tidak bisa, orang tuaku takkan mengijinkan aku menikah sebelum aku
menyelesaikan sekolahku.”
“Aku
tahu itu, tapi kamu pasti juga tahu, bagaimana keadaan ayahku? Hanya ini yang
bisa kulakukan untuk ayahku disaat-saat terakhirnya.”
Aku
tak bisa berkata sepatah kata pun. Tanganku yang terasa sangat dingin terasa hangat di
genggaman Sena, satu-satunya orang yang aku inginkan untuk menjadi
pendampingku. Tapi tidak untuk saat ini.
“Sa, aku menunggu
jawabanmu, aku tahu ini berat untukmu, pilihlah yang menjadi pilihanmu. Menikah
denganku atau tidak... sama sekali.” Kata Sena.
Aku benar-benar hancur,
apa aku harus melepas Sena? Atau menghianati orang tuaku sendiri?
Hanya satu tempat dimana aku
bisa memikirkan semua itu, tengah malam yang dingin memaksaku bangun dari
tidurku yang pulas. Bergegas aku mengambil air wudlu. Ya, hanya Allah tempatku
meminta petunjuk untuk semua masalah yang kuhadapi.
“Aku ingin bertemu, ada
sesuatu yang harus kukatakan padamu,” kataku pada Sena lewat gagang telepon rumahku.
∞∞∞
Di danau, di bawah pohon dengan bangku putih, kami berdua duduk. Dan
aku pun mulai angkat bicara.
“Baiklah, Sena aku sangat
menyayangimu.” kata-kataku terhenti, berat
rasanya mengatakannya..
“Tapi aku tidak bisa
menerima lamaranmu. Keluargaku masih membutuhkanku,”
Aku terdiam melihat wajah
Sena penuh kekecewaan, dan aku tahu memang itu konsekuensi yang harus aku
terima.
“Hanya kamu wanita yang
aku cintai Sa,” tutur Sena tenang.
“Apa benar kamu
mencintaiku? Apa kamu akan melakukan apa yang aku inginkan?” Aku menatapnya
dalam.
“Pasti aku akan
melakukannya Sa, semampuku hanya untuk kamu.” Jawab Sena, meletakkan tangannya
di pipiku. Ku pegang tangannya dan memberanikan diri berkata,
“menikahlah dengan Sevi!”
“Apa maksudmu? Aku tidak
mencintainya.” Seketika Sena beranjak dari tempat duduknya.
“Tapi dia mencintaimu,
dan setidaknya ia telah siap menikah. Aku yakin kamu akan bahagia dengan Sevi,” kataku dengan kepala
tertunduk tak berani menatap mata Sena.
“Apa kamu yakin dengan
perkataan konyolmu itu?” tanya Sena dengan nada
mulai tinggi.
“Iya.”
“Sa, dengarkan aku.” Sena
berkata sambil memegang kedua lenganku. Aku menatapnya sangat dalam, tak pernah
aku melihat Sena seperti ini sebelumnya.
“Jika itu maumu, aku akan
melakukannya, bukan untuk siapa pun kecuali untuk orang yang benar-benar aku
sayangi.”
Ia melepaskan tangannya
kemudian meninggalkanku bersama hembusan angin yang dingin beserta linangan air
mataku, menunggu seseorang mengusapnya.
∞∞∞
“Sa, hati-hati ya di
sana! Baik-baik, jaga diri ya nduk.
Kalau ada apa-apa langsung kabari Bapak sama Ibu, salam buat Budhemu ya nduk.” tutur
Ibu mewanti-wanti kepergianku.
“Iya Bu, Salsa pasti
hati-hati di sana,” kataku
menenangkan ibu.
Sena
tahu aku akan pergi hari ini, aku sudah mencoba menelponnya tadi malam tapi tak
ada jawaban. Pikiranku semakin kacau, apa ia sedang menyiapkan pernikahannya?
Mungkin begitu, tapi aku tak boleh seperti ini, aku bukan siapa-siapa lagi
baginya. Aku hanya bisa mendoakan ia bahagia bersama Sevi. Mereka adalah
orang-orang yang aku sayangi.
Dari hari ke hari aku
mulai sadar, aku harus bangkit. Di Bandung aku harus fokus pada kuliahku. Dan
berhenti memikirkan masa lalu yang akan membuatku semakin hancur dan menyesal.
2 Tahun berlalu.....
Aku
sangat merindukan Semarang. Apalagi sudah 2 tahun ini aku tak menikmati
lezatnya sayur lodeh buatan ibu. Aku memutuskan untuk pulang ke Semarang.
Seisi rumah terkejut melihat kedatanganku tanpa kabar. Setelah menceritakan semua pada ibu selama aku
di Bandung, aku bersiap ingin pergi ke danau. Ya, danau tempat pertama dan
terakhir aku bertemu Sena semenjak kepergianku ke Bandung.
Aku
menyusuri jalanan menuju danau, aku terkejut, melihat sesorang yang bukan lain
adalah Sena, Ia menggendong seorang anak kecil, gadis kecil yang sangat cantik.
Di sebelah Sena terlihat seorang wanita, kurasa ia Sevi, tetapi ternyata bukan.
Lalu siapa dia? Dimana Sevi?
Aku terpaku di tempat aku
berdiri menatap mereka. Menyaksikan Sena yang kurasa bersama keluarganya.
Tiba-tiba,
Sena menoleh ke arahku. Ia menatapku, aku segera membalik badanku berlari
menjauh dari keluarga yang sedang berbahagia itu. Tanpa ku sadari, setitik air
mata jatuh di pipiku. Langkahku terhenti saat sentuhan tangan yang tak asing
lagi bagiku kurasakan menggenggan tanganku.
“Sena?
apa yang kamu lakukan?” tanyaku dengan
terbata-bata.
“Salsa, aku merindukanmu,
aku hampir tak percaya kau ada di sini,” kata Sena.
“Di mana Sevi?” tanyaku
singkat.
“Apa kamu belum tahu?”
“Tahu tentang apa?” tanyaku penasaran.
Setelah
Sena menceritakan semua tentang Sevi, aku terkejut dan sama sekali tak mengira.
Sevi meninggal karena aborsi, Andre telah
menghancurkan masa depan Sevi dan tidak bertanggung jawab. Sevi melakukan hal itu karena
ia tak mau membuat orang tuanya dan Sena kecewa.
“Kenapa
tak ada kabar untukku?” tanyaku.
“Semua itu serba
ditutup-tutupi oleh keluarga Sevi, lagi pula aku tidak ingin mengganggu
kuliahmu.”
“Lalu bagaimana
denganmu?”
“Ayahku pergi hampir
bersamaan dengan kepergian Sevi.”
Aku tak mengerti apa
maksud perkataan Sena.
”Dengan siapa kamu
menikah?”
Sena tersenyum, ”tidak dengan gadis mana pun.”
Mendengar itu, aku
semakin bertanya-tanya siapa wanita dan anak kecil itu?
“Kamu pasti penasaran
siapa wanita yang kamu lihat tadi kan?” tanya Sena.
“sebenarnya iya,” aku
menjawabnya dengan senyum kecil.
“Dia bukan istriku, dia
kakak iparku,” jawab Sena dengan senyum
menggelikan.
“Oh ya? Lalu, apa ibumu
tak memintamu tetap menikah?” tanyaku lagi padanya.
“Ibuku tak sekeras
ayahku, lagi pula ibu tahu hanya kamu yang aku cintai.” Sena menatapku, seperti
terakhir ia menatapku. Aku tertunduk, perasaanku campur aduk, ada rasa senang
karena Sena masih mencintaiku. Tapi ada kesedihan saat aku kehilangan sahabat
baikku.
“Sena, kamu mau kan
mengantarku ke makam Sevi?” Pintaku pada Sena.
“Kenapa tidak, sekarang?”
“Iya”
Di
depan batu nisan Sevi, aku tak bisa menahan air mataku lebih lama. Sena menenangkanku, mendekapku dan mengusap air mataku. Aku tak tahu apa
yang akan terjadi padaku jika Sevi masih hidup dan aku harus menyaksikan Sevi
di samping Sena, mendampingi Sena.
Mungkin ini jalan
hidupku, bersama orang yang memang aku cintai. Aku pun tahu apa yang aku
relakan pasti akan dapat balasan yang terbaik dari Tuhan.
Apa yang aku pilih adalah
yang menentukan jalan hidupku sendiri. Apa pun itu, apa pun yang aku korbankan
takkan ada yang sia-sia. Karena itu semua
telah digariskan oleh yang Maha Kuasa.
Kini
aku takkan melepas Sena, semua yang telah kami lalui telah cukup menguji
ketulusan cinta kami yang abadi.
◘ ◘ ◘
2 comments:
Hmmm ceritanya bgus bu :)
terharu aku
Terimakasih ^^
Tapi gak sampe nangis kan :D
Post a Comment