Mungkin kami akan memilih kumpul-kumpul tuker pikiran daripada bikin cerpen :D Tapi karena ini tugas dan harusss, ya jadilah cerpen-cerpen itu. Ternyata asik bikin cerpen. Awalnya bingung juga cari inspirasi, harus nyari semacam wangsit dulu :D
Baiklah satu dulu deh
PELANGI DI HATI NALA
Sudah
15 menit aku menunggu angkot yang biasa aku tumpangi. Namun entah mengapa angkot
itu tak kunjung datang. Butiran-butiran keringat mulai mengalir dari kulitku
yang tersengat terik mentari.
“Hai,
Nala!”
Kualihkan
pandanganku ke arah suara yang memanggilku itu. Kulihat Nayla tengah
tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Hai,
Nay! Belum pulang ternyata kamu,”
“Iya,
tadi aku mampir fotocopy dulu. Untung kamu belum dapat angkot ya, jadi aku ada
temennya,”
“Yeah,
makanya kamu harus berterima kasih padaku!”
“Iya-ya,
Nala yang cantik, makasih ya!”
“Sama-sama,
Nayla,” jawabku sembari tersenyum kecil. “Eh, itu angkotnya datang. Kita ikut
yang ini aja yuk!”
Nayla
hanya menganggukkan kepalanya untuk menyetujui usulku. Tanpa pikir panjang aku
bergegas menaiki angkot yang berhenti tepat di depanku. Tubuhku seperti
disambar petir rasanya saat kulihat sesosok lelaki yang duduk diseberangku.
Tubuhku mendadak lemas. Tulang-tulangku rasanya sulit untuk aku gerakkan. Ya
Tuhan mengapa aku harus bertemu dengannya disini Tuhan?
“Nal,
itu Rifki kan?” pertanyaan Nayla yang lembut mampu menyentakkan diriku yang
sempat mematung.
“Eh…ya
benar, Nay,”
Aku
langsung mengalihkan pandangan ke objek lain. Aku memutuskan untuk tidak
menyapanya jika Rifki tidak memulainya. Namun kami berdua hanya saling terdiam
tanpa ada sepatah katapun yang terlontar dari kami berdua.
* * *
Aku
tak tahu apa sebenarnya salahku padamu Rifki hinga kamu tega menyakitiku seperti
ini. Ternyata hanya sedangkal itu rasa cintamu untukku. Ternyata semua
janji-janjimu itu dusta. Entah dimana harus kucari jawaban dari pertanyaan yang
selalu mengganjal batinku ini. Apakah pada Rifki aku harus bertanya?
Air
mataku terus mengalir menahan pedihnya luka yang tergores oleh sebuah
penghianatan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ingin rasanya aku berteriak
meluapkan segala emosi yang kini menyelimuti hatiku. Namun kuurungkan niatku
itu, karena tiba-tiba handphoneku menjerit. Segera kuraih HP yang tergeletak
disampingku. Dengan masih terisak kubaca sebuah pesan yang masuk.
Dari:
Alfa
Assalamu’alaikum,
Nala. Apa kabar? Besok jadikan rapat buat persiapan reuninya?
Untuk:
Alfa
Wa’alaikumsalam.
Alhamdulillah kabarku baik. Ya jadi dong Fa, tapi undangannya sudah disebarkan?
Dari:
Alfa
Ya
sudah selesai kemarin penyebarannya. Ok gitu aja ya! Ku harap kamu bisa datang
tepat waktu.
Untuk:
Alfa
InsyaAllah.
Akan aku usahakan.
Akhirnya
tangisku reda setelah membaca SMS dari Alfa tadi.
“Seandainya
dulu aku memilih untuk menunggumu Alfa, pasti keadaannya tidak akan seperti
sekarang ini,” gumamku pelan.
Memang
penyesalan selau datang belakangan. Dan aku terlalu cepat mengambil keputusan
sehingga ini yang aku dapatkan sekarang, rasa sakit dan kekecewaan. Memang aku
harus bertanggung jawab atas pilihanku sendiri. Sudah cukup aku memfonis diriku
sendiri, toh itu tidak akan merubah keadaanku sekarang ini. Lalu kuputuskan
untuk tidur saja agar bisa bangun pagi dan tidak terlambat menghadiri rapat
esok hari.
* * *
Keesokan
harinya aku datang tepat waktu. Masjid SMP Al-Islam tempat dimana aku, Alfa,
dan anak-anak yang lain akan rapat masih terlihat sepi. Tapi kemudian kulihat
Alfa datang menghampiriku. Aku tertegun melihat sosoknya dalam balutan kemeja
berwarna biru polos. Dia tampak tampan dan gagah sekali, lesung pipinya yang nampak
saat dia tersenyum membuatnya semakin manis.
“Assalamu’alaikum,
Nala sudah dari tadi ya kamu disini?”
“Wa’alaikumsalam.
Enggak kok aku baru aja datang,”
“Yang
lain mana?”
“Belum
datang. Mungkin sebentar lagi,”
Sambil
menunggu teman-teman yang lain akau dan Alfa duduk di teras masjid. Entah
mengapa aku merasa sedikti grogi. Apa mungkin karena jarang bertemu dengan
Alfa. Untuk beberapa detik aku dan Alfa larut dalam kesunyian yang menggelitik.
Sampai pada akhirnya Alfa memecahkan kebekuan antara kami berdua.
“Eh
Nala gimana sekolahnya lancar-lancar sajakan?”
“Ya
Alhamdulillah baik-baik saja, tapi masih dalam proses adaptasi juga sih,”
“Hemm,
sudah hampir setahun masih proses adaptasi juga?”
“Ya,
gitu lah. Soalnya inikan termasuk tahap metamorphosis dari anak ingusan menjadi
remaja yang mulai matang,”
“Terus
gimana kabarnya Rifki, masih sama dia kan?”
“Terakhir
ketemu dia sepertinya baik-baik saja. Tapi kalau sekarang aku kurang tahu. Soalnya
semenjak putus 6 bulan lalu aku udah jarang komunikasi lagi,”
“Oh,
maaf ya aku belum tahu kalau kalian putus,”
“Nggak
apa-apa. Orang putus nyambung itu kan udah biasa,”
“Aku
ingin Tanya sesuatu tapi mungkin ini agak terlalu pribadi. Kamu keberatan nggak
buat jawab?”
“Insyaallah,
seandainya aku mampu untuk menjawabnya maka akan aku jawab. Sebenarnya mau
Tanya apa?”
Alfa
memandangku dengan lembut namun penuh konsentrasi.
“Gimana
ceritanya kamu dan Rifki bisa putus? Karena menurutku kamu itu bukan orang yang
suka bermain-main dalam menjalin suatu hubungan,”
Aku
menghela nafas dalam-dalam, “Sebenarnya aku juga tidak menghendaki perpisahan
ini, tapi mau gimana lagi dia memilih gadis lain dan memutuskan untuk
mengakhiri hubungan kami. Bagiku yang namanya penghiatan merupakan sesuatu yang
sulit untuk dimaafkan. Tapi aku anggap ini sebagai takdir yang harus aku
jalani, meski sakit aku tetap berusaha menjadi orang yang berjiwa besar,”
“Ya
, memang harus seperti itu, karena tidak semua kejahatan harus dibalas dengan
kejahatan juga kan? Tapi aku salut sama kamu, kamu selalu berpikir positif
dengan apa yang kini kamu alami,”
“Ah,
malah jadi melo gini tah, ganti topic aja ya!”
Aku
memang sengaja memotong pembicaraan Alfa dan mengalihkannya ke topic lain.
Karena kau tidak ingin luka yang sudah mulai kering ini terkoyak kembali. Aku
tidak mau jika air mataku tumpah dihadapannya. Dan nampaknya Alfa merespon
maksud terselubungku. Dia segera mengganti topic pembicaraan kami. Dan tidak
harus butuh waktu lama lagi Alfa berhasil menghangatkan suasana yang semula
mengharu biru. Seketika itu aku larut dalam kekonyolan yang dibuat Alfa.
Ternyata dia masih kocak dan ceria seperti dulu. Seandainya aku dulu mau
menunggunya mungkin sampai sekarang aku
sedang berbahagia bersama Alfa. Astagfirullah aku ini berpikir apa. Sangat
kecil kemungkinan untuk mewujudkan khayalanku itu. Terlebih Alfa sekarang sudah
punya pacar. Dan sepertinya gadis itu sangat cantik dan baik. Ya aku tahu
tentang hubungan mereka lewat salah satu situs jejaring social yang cukup
terkenal. Sebenarnya mumpung Alfa ada disini aku ingin mengorek lebih dalam
tentang hubungan mereka. Namun rasa malu dan canggung yang besar ini membuatku
mengurungkan niatku.
“Anak-anak
kok belum datang ya? Padahal sudah 1 jam kita menunggu mereka,”
Pertanyaan
Alfa membuatku sadar dari lamunanku tadi.
“Iya,
ya kebiasaan deh jam karet. Kalau seperti ini gimana acara kita bisa sukses?”
“Itu
Rifki kan? Panjang umur juga tuh anak, baru aja diomongin udah nongol anaknya,”
Aku
tak sanggup lagi merespon pertanyaan Alfa. Pikiranku terpusat pada sosok Rifki
yang tengah menghampiri kami. Jantungku berdegup sangat kencang, saraf-sarafku
rasanya berhenti bekerja. Sulit begiku untuk mengendalikan diri dan
menyembunyikan kegugupanku. Mukaku rasanya merah padam mungkin pipiku sudah
semerah jambu saking menanggung malu yang begitu besar. Ya Tuhan mengapa aku
jadi seperti ini, raga ini saperti tak bernyawa saja. Kemudian dengan segera
kucoba menguasai diriku. Aku harus terlihat tenang dihadapan Rifki. Kusunggingkan
senyum semanis mungkin saat aku membalaas senyumnya yang ditujukan untukku dan
Alfa.
“Assalamu’alaikum
, maaf ya aku telat. Kalian sudah nunggu lama?” tegurnya pada kami berdua
seraya mengulurkan tangan menyalami Alfa.
“Waalaikumsalam.
Yan kira-kira sudah 1 jam aku dan Mala disini. Trus yang lain mana?”
“Masing
dibelakang, mungkin sebentar lagi sampai.” Jawab Rifki.
Kemudian
dia berbalik ke arahku sambil mengulurkan tangan menyalami ku. Tanpa mengucap
sepatah katapun. Kusambut tangannya yang hangat itu. Tubuhku panas dingin,
wajahku merah padam saat menjabat tangan Rifki. Sesegera mungkin kutarik
tanganku agar aku bisa menguasai diri kembali.
Aku
tak pernah menduga kalu Rifki akan datang dalam rapat ini, toh sejauh ini Alfa
tidak pernah memberitahku jika ternyata Rifki masuk dalam anggota kepanitiaan.
Seandainya saja aku tahu kalau Rifki akan hadir pasti aku bisa mempersiapkan
diriku sejak awal.
Rapat
berjalan lancar walaupun mundur 1 jam dari rencana awal. Setelah rapat usai,
Alfa bergegas memohon diri karena dia harus segera kembali ke Solo. Begitupun
juga aku ingin cepat-cepat pulamg dan menghindar dari makhluk bernama Rifki
itu. Namun langkahku terhenti ketika seseorang meemanggilku.
“Mala,
tunggu!” teriak Rifki. Aku meemutar tubuhku menghadap ke arah RIfki yang tengah
menghampiriku.
“Mala,
bisa kita bicara sebentar?”
“Oke.
Mau bicara apa?”
“Mala,
aku mau minta maaf atas apa yang telah aku lakukan padamu. Aku menysal telah
meninggalkanmu dami wanita yang sebenarnya tidak benar-banar aku cintai. Aku
tahu kamu pasti benci dan marah sama aku, tapi aku harap kamu mau memaafkan aku
dan memberi kesempatan bagiku untuk bisa menebus semua salahku padamu, aku
mohon!”
Kutarik
nafas dalam sebelum aku menjawab pertanyaan Rifki. “Ya, aku memang kecewa sama
kamu dan jujur sampai saat ini aku belum sepenuhnya bisa memaafkanmu. Tapi
selama ini aku selalu mencoba berjiwa besar untuk memeaafkanmu dan menerima
semua keadaan ini, berat memang. Tapi toh ini kenyataannya.” Kutahan air mataku
yang hampir menetes.
“Jadi
tak ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki semua dan kembali menjalin hubungan
kita seperti dulu?”
“Sejak
kau mengucapkan kata putus itu, aku memang berniat untuk merhenti mencintaimu
dan menghempaskan semua perasaanku padamu. Jadi aku tidak bisa kembali padamu
seperti dulu. Walaupun aku sudah memaafkanmu. Aku masih trauma dengan
pengalaman itu dan aku tidak mau jatuh untuk kedua kalinya pada lubang yang
sama. Jadi maafkan aku. ini sudah menjadi keputusanku.”
“Baiklah,
aku bisa memahami alasanmu. Aku mamang bersalah besar karena telah menyakitimu.
Tapi aku lega setidaknya kamu telah memaafkanku.”
Karena
kurasa semuanya sudah jelas aku mohon diri pada Rifki. Aku sudah tidak sanggup
lagi menguasai diriku, air mataku sudah tidak terbendung lagi. Sebanarnya batinku
memberontak, aku masih mencintainya, aku masih ingin bersamanya. Tapi ini sudah
pilihanku. Bagaimanapun juga luka yang ia torehkan lebih dalam dari rasa
cintaku padanya.
Biarlah
aku hidup seprti ini dengan pilihanku untuk meninggalkan Rifki. Seperti pelangi
yang pada akkhirnya akan ditinggalkan oleh awan dan meninggalkan matahari yang
telah menjadikannya ada. Begitupun juga aku. Aku akan menjalalani hari-hariku
yang baru tanpa memperdulikan asmara atau masalah lainnya. Aku harus menjadi
gadis yang lebih matang dan dewasa dan aku berjanji akan tetap indah dan
menawan seperti halnya pelangi.
◘ ◘ ◘
PROFIL PENULIS
Cewek yang bernama Astri Atina A’izzah ini lahir pada tanggal
10 Mei 1994 di sebuah desa tepatnya Desa Susukan RT. 03/ VI, dukuh ketanggen
kec. Susuka.tercinta…..(weessee. Jauh dari kehidupan gemerlapnya kota . Hahahaha) pantes
aja Gadis yang berparas Jawa Tulen ini tergolong cewek yang pendiam tapi kalau
lagi emosi, dia biasa melampiaskan keemosiannya dengan bersih-bersih. Aneh
banget kan
orangnya. Ya tapi nggak apalah kan
kelasnya jadi bersih gara-gara Astri tuh.
PELANGI DI
HATI NALA merupakan cerpen pertama dari cewek yang hobi nonton film, baca komik
dan novel. Komik yang paling dia gemari adalah detective conan dan inuyasha.
Cerpen yang ditulisnya ini berkisah tentang seorang gadis yang bernama Nala
yang mengalami keterpurukan setelah putus dengan pacarnya. Kemudian dia mencoba
bangkit dari keterpurukan tersebut dan mencoba membuka lembaran baru untuk
hidupnya.
Penulis
merasa cerpen ini masih jauh dari kesempurnaan. Secara masih amatiran. Tapi
penulis berharap amanat yang ingin di sampaikan dalam cerpen ini dapat di ambil
pelajaran oleh para pembaca.
0 comments:
Post a Comment