Friday, June 15, 2012

Coretan

Kali ini mau share cerpen anak-anak yang dulu sempet dibuat karena tuntutan tugas ahaha
Mungkin kami akan memilih kumpul-kumpul tuker pikiran daripada bikin cerpen :D Tapi karena ini tugas dan harusss, ya jadilah cerpen-cerpen itu. Ternyata asik bikin cerpen. Awalnya bingung juga cari inspirasi, harus nyari semacam wangsit dulu :D

Baiklah satu dulu deh


PELANGI DI HATI NALA

Sudah 15 menit aku menunggu angkot yang biasa aku tumpangi. Namun entah mengapa angkot itu tak kunjung datang. Butiran-butiran keringat mulai mengalir dari kulitku yang tersengat terik mentari.
“Hai, Nala!”
Kualihkan pandanganku ke arah suara yang memanggilku itu. Kulihat Nayla tengah tergopoh-gopoh menghampiriku.
“Hai, Nay! Belum pulang ternyata kamu,”
“Iya, tadi aku mampir fotocopy dulu. Untung kamu belum dapat angkot ya, jadi aku ada temennya,”
“Yeah, makanya kamu harus berterima kasih padaku!”
“Iya-ya, Nala yang cantik, makasih ya!”
“Sama-sama, Nayla,” jawabku sembari tersenyum kecil. “Eh, itu angkotnya datang. Kita ikut yang ini aja yuk!”
Nayla hanya menganggukkan kepalanya untuk menyetujui usulku. Tanpa pikir panjang aku bergegas menaiki angkot yang berhenti tepat di depanku. Tubuhku seperti disambar petir rasanya saat kulihat sesosok lelaki yang duduk diseberangku. Tubuhku mendadak lemas. Tulang-tulangku rasanya sulit untuk aku gerakkan. Ya Tuhan mengapa aku harus bertemu dengannya disini Tuhan?
“Nal, itu Rifki kan?” pertanyaan Nayla yang lembut mampu menyentakkan diriku yang sempat mematung.
“Eh…ya benar, Nay,”
Aku langsung mengalihkan pandangan ke objek lain. Aku memutuskan untuk tidak menyapanya jika Rifki tidak memulainya. Namun kami berdua hanya saling terdiam tanpa ada sepatah katapun yang terlontar dari kami berdua.
*       *      *
Aku tak tahu apa sebenarnya salahku padamu Rifki hinga kamu tega menyakitiku seperti ini. Ternyata hanya sedangkal itu rasa cintamu untukku. Ternyata semua janji-janjimu itu dusta. Entah dimana harus kucari jawaban dari pertanyaan yang selalu mengganjal batinku ini. Apakah pada Rifki aku harus bertanya?
Air mataku terus mengalir menahan pedihnya luka yang tergores oleh sebuah penghianatan yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ingin rasanya aku berteriak meluapkan segala emosi yang kini menyelimuti hatiku. Namun kuurungkan niatku itu, karena tiba-tiba handphoneku menjerit. Segera kuraih HP yang tergeletak disampingku. Dengan masih terisak kubaca sebuah pesan yang masuk.
Dari: Alfa
Assalamu’alaikum, Nala. Apa kabar? Besok jadikan rapat buat persiapan reuninya?
Untuk: Alfa
Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah kabarku baik. Ya jadi dong Fa, tapi undangannya sudah disebarkan?
Dari: Alfa
Ya sudah selesai kemarin penyebarannya. Ok gitu aja ya! Ku harap kamu bisa datang tepat waktu.
Untuk: Alfa
InsyaAllah. Akan aku usahakan.
Akhirnya tangisku reda setelah membaca SMS dari Alfa tadi.
“Seandainya dulu aku memilih untuk menunggumu Alfa, pasti keadaannya tidak akan seperti sekarang ini,” gumamku pelan.
Memang penyesalan selau datang belakangan. Dan aku terlalu cepat mengambil keputusan sehingga ini yang aku dapatkan sekarang, rasa sakit dan kekecewaan. Memang aku harus bertanggung jawab atas pilihanku sendiri. Sudah cukup aku memfonis diriku sendiri, toh itu tidak akan merubah keadaanku sekarang ini. Lalu kuputuskan untuk tidur saja agar bisa bangun pagi dan tidak terlambat menghadiri rapat esok hari.
*        *      *
Keesokan harinya aku datang tepat waktu. Masjid SMP Al-Islam tempat dimana aku, Alfa, dan anak-anak yang lain akan rapat masih terlihat sepi. Tapi kemudian kulihat Alfa datang menghampiriku. Aku tertegun melihat sosoknya dalam balutan kemeja berwarna biru polos. Dia tampak tampan dan gagah sekali, lesung pipinya yang nampak saat dia tersenyum membuatnya semakin manis.
“Assalamu’alaikum, Nala sudah dari tadi ya kamu disini?”
“Wa’alaikumsalam. Enggak kok aku baru aja datang,”
“Yang lain mana?”
“Belum datang. Mungkin sebentar lagi,”
Sambil menunggu teman-teman yang lain akau dan Alfa duduk di teras masjid. Entah mengapa aku merasa sedikti grogi. Apa mungkin karena jarang bertemu dengan Alfa. Untuk beberapa detik aku dan Alfa larut dalam kesunyian yang menggelitik. Sampai pada akhirnya Alfa memecahkan kebekuan antara kami berdua.
“Eh Nala gimana sekolahnya lancar-lancar sajakan?”
“Ya Alhamdulillah baik-baik saja, tapi masih dalam proses adaptasi juga sih,”
“Hemm, sudah hampir setahun masih proses adaptasi juga?”
“Ya, gitu lah. Soalnya inikan termasuk tahap metamorphosis dari anak ingusan menjadi remaja yang mulai matang,”
“Terus gimana kabarnya Rifki, masih sama dia kan?”
“Terakhir ketemu dia sepertinya baik-baik saja. Tapi kalau sekarang aku kurang tahu. Soalnya semenjak putus 6 bulan lalu aku udah jarang komunikasi lagi,”
“Oh, maaf ya aku belum tahu kalau kalian putus,”
“Nggak apa-apa. Orang putus nyambung itu kan udah biasa,”
“Aku ingin Tanya sesuatu tapi mungkin ini agak terlalu pribadi. Kamu keberatan nggak buat jawab?”
“Insyaallah, seandainya aku mampu untuk menjawabnya maka akan aku jawab. Sebenarnya mau Tanya apa?”
Alfa memandangku dengan lembut namun penuh konsentrasi.
“Gimana ceritanya kamu dan Rifki bisa putus? Karena menurutku kamu itu bukan orang yang suka bermain-main dalam menjalin suatu hubungan,”
Aku menghela nafas dalam-dalam, “Sebenarnya aku juga tidak menghendaki perpisahan ini, tapi mau gimana lagi dia memilih gadis lain dan memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami. Bagiku yang namanya penghiatan merupakan sesuatu yang sulit untuk dimaafkan. Tapi aku anggap ini sebagai takdir yang harus aku jalani, meski sakit aku tetap berusaha menjadi orang yang berjiwa besar,”
“Ya , memang harus seperti itu, karena tidak semua kejahatan harus dibalas dengan kejahatan juga kan? Tapi aku salut sama kamu, kamu selalu berpikir positif dengan apa yang kini kamu alami,”
“Ah, malah jadi melo gini tah, ganti topic aja ya!”
Aku memang sengaja memotong pembicaraan Alfa dan mengalihkannya ke topic lain. Karena kau tidak ingin luka yang sudah mulai kering ini terkoyak kembali. Aku tidak mau jika air mataku tumpah dihadapannya. Dan nampaknya Alfa merespon maksud terselubungku. Dia segera mengganti topic pembicaraan kami. Dan tidak harus butuh waktu lama lagi Alfa berhasil menghangatkan suasana yang semula mengharu biru. Seketika itu aku larut dalam kekonyolan yang dibuat Alfa. Ternyata dia masih kocak dan ceria seperti dulu. Seandainya aku dulu mau menunggunya mungkin sampai  sekarang aku sedang berbahagia bersama Alfa. Astagfirullah aku ini berpikir apa. Sangat kecil kemungkinan untuk mewujudkan khayalanku itu. Terlebih Alfa sekarang sudah punya pacar. Dan sepertinya gadis itu sangat cantik dan baik. Ya aku tahu tentang hubungan mereka lewat salah satu situs jejaring social yang cukup terkenal. Sebenarnya mumpung Alfa ada disini aku ingin mengorek lebih dalam tentang hubungan mereka. Namun rasa malu dan canggung yang besar ini membuatku mengurungkan niatku.
“Anak-anak kok belum datang ya? Padahal sudah 1 jam kita menunggu mereka,”
Pertanyaan Alfa membuatku sadar dari lamunanku tadi.
“Iya, ya kebiasaan deh jam karet. Kalau seperti ini gimana acara kita bisa sukses?”
“Itu Rifki kan? Panjang umur juga tuh anak, baru aja diomongin udah nongol anaknya,”
Aku tak sanggup lagi merespon pertanyaan Alfa. Pikiranku terpusat pada sosok Rifki yang tengah menghampiri kami. Jantungku berdegup sangat kencang, saraf-sarafku rasanya berhenti bekerja. Sulit begiku untuk mengendalikan diri dan menyembunyikan kegugupanku. Mukaku rasanya merah padam mungkin pipiku sudah semerah jambu saking menanggung malu yang begitu besar. Ya Tuhan mengapa aku jadi seperti ini, raga ini saperti tak bernyawa saja. Kemudian dengan segera kucoba menguasai diriku. Aku harus terlihat tenang dihadapan Rifki. Kusunggingkan senyum semanis mungkin saat aku membalaas senyumnya yang ditujukan untukku dan Alfa.
“Assalamu’alaikum , maaf ya aku telat. Kalian sudah nunggu lama?” tegurnya pada kami berdua seraya mengulurkan tangan menyalami Alfa.
“Waalaikumsalam. Yan kira-kira sudah 1 jam aku dan Mala disini. Trus yang lain mana?”
“Masing dibelakang, mungkin sebentar lagi sampai.” Jawab Rifki.
Kemudian dia berbalik ke arahku sambil mengulurkan tangan menyalami ku. Tanpa mengucap sepatah katapun. Kusambut tangannya yang hangat itu. Tubuhku panas dingin, wajahku merah padam saat menjabat tangan Rifki. Sesegera mungkin kutarik tanganku agar aku bisa menguasai diri kembali.
Aku tak pernah menduga kalu Rifki akan datang dalam rapat ini, toh sejauh ini Alfa tidak pernah memberitahku jika ternyata Rifki masuk dalam anggota kepanitiaan. Seandainya saja aku tahu kalau Rifki akan hadir pasti aku bisa mempersiapkan diriku sejak awal.
Rapat berjalan lancar walaupun mundur 1 jam dari rencana awal. Setelah rapat usai, Alfa bergegas memohon diri karena dia harus segera kembali ke Solo. Begitupun juga aku ingin cepat-cepat pulamg dan menghindar dari makhluk bernama Rifki itu. Namun langkahku terhenti ketika seseorang meemanggilku.
“Mala, tunggu!” teriak Rifki. Aku meemutar tubuhku menghadap ke arah RIfki yang tengah menghampiriku.
“Mala, bisa kita bicara sebentar?”
“Oke. Mau bicara apa?”
“Mala, aku mau minta maaf atas apa yang telah aku lakukan padamu. Aku menysal telah meninggalkanmu dami wanita yang sebenarnya tidak benar-banar aku cintai. Aku tahu kamu pasti benci dan marah sama aku, tapi aku harap kamu mau memaafkan aku dan memberi kesempatan bagiku untuk bisa menebus semua salahku padamu, aku mohon!”
Kutarik nafas dalam sebelum aku menjawab pertanyaan Rifki. “Ya, aku memang kecewa sama kamu dan jujur sampai saat ini aku belum sepenuhnya bisa memaafkanmu. Tapi selama ini aku selalu mencoba berjiwa besar untuk memeaafkanmu dan menerima semua keadaan ini, berat memang. Tapi toh ini kenyataannya.” Kutahan air mataku yang hampir menetes.
“Jadi tak ada kesempatan bagiku untuk memperbaiki semua dan kembali menjalin hubungan kita seperti dulu?”
“Sejak kau mengucapkan kata putus itu, aku memang berniat untuk merhenti mencintaimu dan menghempaskan semua perasaanku padamu. Jadi aku tidak bisa kembali padamu seperti dulu. Walaupun aku sudah memaafkanmu. Aku masih trauma dengan pengalaman itu dan aku tidak mau jatuh untuk kedua kalinya pada lubang yang sama. Jadi maafkan aku. ini sudah menjadi keputusanku.”
“Baiklah, aku bisa memahami alasanmu. Aku mamang bersalah besar karena telah menyakitimu. Tapi aku lega setidaknya kamu telah memaafkanku.”
Karena kurasa semuanya sudah jelas aku mohon diri pada Rifki. Aku sudah tidak sanggup lagi menguasai diriku, air mataku sudah tidak terbendung lagi. Sebanarnya batinku memberontak, aku masih mencintainya, aku masih ingin bersamanya. Tapi ini sudah pilihanku. Bagaimanapun juga luka yang ia torehkan lebih dalam dari rasa cintaku padanya.
Biarlah aku hidup seprti ini dengan pilihanku untuk meninggalkan Rifki. Seperti pelangi yang pada akkhirnya akan ditinggalkan oleh awan dan meninggalkan matahari yang telah menjadikannya ada. Begitupun juga aku. Aku akan menjalalani hari-hariku yang baru tanpa memperdulikan asmara atau masalah lainnya. Aku harus menjadi gadis yang lebih matang dan dewasa dan aku berjanji akan tetap indah dan menawan seperti halnya pelangi.    
                               

PROFIL PENULIS
Cewek yang bernama Astri Atina A’izzah ini lahir pada tanggal 10 Mei 1994 di sebuah desa tepatnya Desa Susukan RT. 03/ VI, dukuh ketanggen kec. Susuka.tercinta…..(weessee. Jauh dari kehidupan gemerlapnya kota. Hahahaha) pantes aja Gadis yang berparas Jawa Tulen ini tergolong cewek yang pendiam tapi kalau lagi emosi, dia biasa melampiaskan keemosiannya dengan bersih-bersih. Aneh banget kan orangnya. Ya tapi nggak apalah kan kelasnya jadi bersih gara-gara Astri tuh.
            PELANGI DI HATI NALA merupakan cerpen pertama dari cewek yang hobi nonton film, baca komik dan novel. Komik yang paling dia gemari adalah detective conan dan inuyasha. Cerpen yang ditulisnya ini berkisah tentang seorang gadis yang bernama Nala yang mengalami keterpurukan setelah putus dengan pacarnya. Kemudian dia mencoba bangkit dari keterpurukan tersebut dan mencoba membuka lembaran baru untuk hidupnya.
            Penulis merasa cerpen ini masih jauh dari kesempurnaan. Secara masih amatiran. Tapi penulis berharap amanat yang ingin di sampaikan dalam cerpen ini dapat di ambil pelajaran oleh para pembaca.

 

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © Writing Space. All rights reserved.
Blogger template created by Templates Block | Start My Salary
Designed by Santhosh