AMPUTASI
Aku
mulai menggerakkan jari-jari tanganku. Sekilas gambar mulai muncul di otakku.
Sekali, dua kali, tiga kali. Ku buka pelan-pelan kedua mataku. Ada sedikit
cahaya yang aku lihat. Lama-lama, cahaya itu berubah menjadi putih. Perlahan,
kulirik sebelah kananku. Kulihat ada seseorang yang duduk di kursi samping
tempat tidurku dengah kepala menempel di kasur. Aku mulai melirik sebelah kiriku.
Kulihat sebuah pintu. Mungkin pintu untuk keluar dari ruangan ini. Mataku mulai
terbuka lebih lebar, hingga akhirnya aku bisa melihat sesosok wanita yang telah
menegakkan tubuhnya disisi kananku.
Aku
melihatnya tersenyum kecil kepadaku, manun penuh arti. Aku juga melihat
kelelahan pada sorot matanya. Mungkin semalaman dia tidak bisa tidur karenaku.
Dan air mata mengalir di pipinya. Apa ini semua
salahku? Dia tidak berkata apa-apa. Tetapi, seakan-akan aku mengrti apa yan dia katakan lewat senyumannya.
salahku? Dia tidak berkata apa-apa. Tetapi, seakan-akan aku mengrti apa yan dia katakan lewat senyumannya.
Tidak
laam dia memendangku, dia bergegas keluar. Mungkin dia mau memanggil seseorang.
Tetapi aku tidak melihatnya melangkah. Dia tidak berjalan. Dia tetap pada
tempatnya saat tersenyum padaku tadi. Aku melihat roda bahkan dua buah roda.
Dia duduk dengan kedua roda itu. apa sebanarnya yang terjadi? Siapa dia?
Kurasakan
sakit pada kepalaku. Kilatkilat gambar mulai menyambar otakku. Sakit ini, sakit
yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Terasa sangat sakit. Hingga aku tutup
kembali kedua mataku.
“Ayo,
dokter! Cepat!” suara itu sudah tidak asing di telingaku. Sura itu semakin
jelas. aku merasakan sentuhan lembut di tanganku. Genggamannya semakin kuat.
Seakan-akan dia tidak mau kehilangan seseorang yang sangat dekat dengan
dirinya.
“Adik
Anda sudah mulai siuman. Tolong jaga adik Anda dengan Baik! Kalau ada apap-apa silakan
menghubungi saya! Oya, saya akan memeriksa kaki Anda lagi. Semoga saja manjur
dengan obat yang saya berikan sehingga tidak perlu dilakukan amputasi pada kaki
kiri Anda.
Amputansi?
Apakah aku tidak salah mendengarnya? Dan, adik? Siapa yang dia maksud? Di
ruangan ini hanya ada aku delain dia dan seseorang yang dia panggil dokter.
Aku
mulai merasakan sakit lagi di kepalaku. Gambar-gambar itu mulai berseliweran
dipikiranku. Aku tidak tahu gamabar apa itu. tetapi seiring bertambahnya rasa
sakit di kepalaku, kilatan-kilatan itu mulai jelas. gambar itu mulai bergerak
dengan perlahan. Gambar itu berubah menjadi sebuah film. Sebuah film sedrhana
dan sebentar. Gambar di film itu mulai jelas. aku mulai bisamelihat apa yang
terjad di dalam film itu.
Arghh!
Rasa sakit itu makin menjadi-jadi. Aku tidak tahan. Aku tidak kuat. Air mataku
mengalir.
* * *
“Bagaimana
dengan kaki saya, dok?”
“Tenanglah,
Nona! Untuk sementara ini kaki Anda masih bisa bertahan dengan obat yang selama
dua bulan ini saya berikan. Saya juga akn mencarikan obat dari luar negeri
untuk Anda.”
“Terimakasih,
dokter! Saya harus kembali bekerja. Saya permisi.”
“Baik,
silakan! Sebaiknya jangan terlalu sibuk. Anda belum pulih betul. Adik Anda juga
membutuhkan Anda. Saya takut keadaannya kembali parah saat dia ingat apa yang
telah terjadi.”
*
* *
“Kamila!
Kamu sudah sadar?”
Aku
mulai membuka mataku dengan perlahan. Aku rasa aku sudar tertidur sangat lama
sehinggga sulit rasanya membuka kembali mataku.
“Kak-Kak-Jas-mine… A-a-aku ma-mau
pu-lang…”
“Kamu
belum boleh pulang! Kamu belum sehat. Nanti kalu kamu sudah sembuh, kamu boleh
pulang,” suaranya begitu lembut, dia juga mengganggam tanganku dengan erat.
“A-A-Ayah,
I-I-I-bu… ma-ma-na?” susah payah ku bertanya tetapi kak Jasmine hanya bungkam.
Ku melihat raut kesediahan wajahnya. Tiba-tiba gambar itu muncul kembali
beserta rasa sakit di kepalaku. Gambar itu mulai hilang perlahan.
“Permisi,”
“Oh,
dokter! Silakan,”
Dokter
itu mengahampiriku, dia mulai memeriksaku. Dia hanya mengatakan suatu hal
kepada Kak Jasmine. Tetepi aku teidak jelas mendengarnya kerena rasa sakit ini
yang kembali datang. Tetapi kumendengar. Tiga bulan.
Aku
melihat lelaki itu serius berbicara dengan Kak Jasmine. Sepertinya sangat
penting. Perlahan, mimic wajah Kak Jasmine
berubah. Bukan ekspresi bahagia yang terlihat di wjahnya. Tetapi kebingunan dan
shock yang lebih tepat terlihat. Aku memenga tidak tahu apa yang telah terjadi.
Rasanya ingin sekali menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi mulutku
susah sekali untuk mengatakan sesuatu. Belum lagi rasa sakit di kepalaku ini.
Lama-lama
semakin sakit, sakit, dan sakit.
* * *
Aku
mulai meneskan air mata. Gambar-gambar itu semakin jelas untukku. Aku melihat
sesosok gadis, berambut hitam ikal kira-kira sebahu. Dia duduk dengan wajah
penuh kekesalan.
“Kamila…
Ayah dan Ibu akan pergi teapi kenapa kamu malah seperti ini? ibu tidak akan
suka melihatmu seperti ini. Kami juga ingin kamu lebih mandiri saat kita pergi.
Bukannya meminta orang untuk bekerja di rumah,”
Dia
masih cemberut. Bahkan sekarang dia mulai berdiri, “Ibu! Aku tidak mau
melakukan pekerjaan rumah sendiri. Aku tidak mau. Ibu itu masih masih
menyayangiku atu tidak sih?” suaranya mengeras. Air mata seseorang yang dia
panggil Ibu mulai mengalir.
“Kamila!
Berani-beraninya kamu membentak Ibu! Lihat akibat dari perbuatanmu! Apa kamu
tahu apa yan gsudah kamu perbuat? Durhaka kamu!”
Aku
sangat tersentak mendengar apa yang wanita berkerudung itu katakana. Ka-Kamila,
wajah itu… Itu aku… Dan wanita yang tengah menangis itu…
Air
mataku mengalir kembali.
Aku
ingin meminta maaf kepadanya. Tetapi aku tidak bisa. Dia juga tidak
mengucapakan terima kasih pada Ibunya. Anak macam apa aku ini. dia hanya duduk
terpaku.
‘Ibu!
Tolong maafkan Kamila, ya! Kak Jasmine mulai memluk Ibuku. Ingin rasanya aku
memeluknya. Aku tidak bermaksud membuat Ibu sedih. Tetapi mungkin memang aku
yang salah. Aku hanya tidak ingin Ibu dan Ayah pergi. Aku mau mereka bersamaku.
“Kamila…
Ayah dan Ibu berangakt dulu, ya! Kamu Jasmine, tolong jaga adikmu! Jangna
sampai adikmu kenepa-napa! Dia saudara kandungmu satu-satunya. Tolong jangan
buat kami kecewa, Sayang!” lelaki tingi berkumis itu, dia-dia ayahku!
Mereka
pergi. Tetapi tidak sepatah katapun kuucapakan.
Rasa
sakit di kepalaku kembali datang. Gambar itu. banyak orang berlarian. Suasana
berubah. Kak Jasmine segeramenghampiriku. Dia seprti melindungiku. Rasa sakit
itu kembali datang. Tidak jelas untukku apa yang terjadi selanjutnya. Tetapi
rasa sakit ini, aku tidak kuat lagi! Ya Allah, tolong maafkan aku! aku ingin
meminta maaf kepada Ayah dan Ibu. Aku ingin bertemu dengan mereka. Aku juga
ingin mengatakan pada Kak Jasmine kalu aku menyayanginya dan terima kasih untuk
semuanya.
*
* *
“Kamila…
Kamu kenapa menangis? Kak Jasmine menghapus air mata yang keluar dari mataku.
“Kamila…
Tolong maafkan aku karena tidak bisa melindungimu! Aku tidak bisa menjalankan
amanah dari Ayah dan Ibu. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Setelah empat
bulan, kakiku tidak bisa bertahan. Dokter sudah melakukan ampuytansi pada
kakiku. Satu minngu yang lalu, gempa itu… Gempa itu membuat Ayah dan Ibu…” air
matanya mengalir. “Sudahlah, tidak seharusnya aku menceritakan ini. Yang
penting adalah kamu sembuh. Air mataku mengalir dan aku tidak merasakan apa-apa
lagi.
* * *
“Selamat
siang, Pemirsa! Berita hari ini. Telah tertabrak, seorang wanita muda
berkerudung di rel kereta api kota. Diduga karena kakinya telah diamputansi dan
mengalami stress, wanita itu bunuh diri dengan menabrakkan dirinya.”
◘ ◘ ◘
Profil Penulis
Riri,begitu
teman-teman memanggilnya.
Anak pertama
dari Bapak Awan Rahmadhani dan ibu Tarmuningsih lahir di Jakarta 16 April
1995.
Cewek yang
mempunyai nama lengkap Estri Pintari ini suka sekali mie ayam.
Dia juga
punya hobi bikin cerpen.
0 comments:
Post a Comment